oleh : Ali Musthofa Hammam
Beberapa hari yang lalu, seorang mantan kepala desa meninggal dunia. Keluarga, kerabat dan tetangga berkumpul melayat ke rumah sang mantan kades tersebut. Kursi tampak diatur berderet memenuhi halaman rumah yang cukup luas. Tampak para kolega sang mantan lurah yang pernah lima tahun menjabat ini juga berdatangan. Demikian juga kolega sang istri yang beberapa bulan lalu terpilih menjadi kepala desa setempat menggantikan suaminya, almarhum, juga banyak berdatangan Terlihat ada camat, kapolsek, tokoh agama berbaur dengan para pelayat lain.
Saya yang berada ditengah-tengah para tamu, mendengar bisik-bisik dari orang yang hadir di sebelah kanan dan kiri saya. Mereka mendiskusikan tentang proses meninggalnya almarhum yang sangat mudah, tanpa didahului oleh sakit. Saya yang mendengarkan dari tadi, akhirnya timbul rasa penasaran yang mendalam. Terlebih saya belum mengetahui sama sekali tentang sosok almarhum semasa hidupnya.
Akhirnya saya mendekati salah satu kelurga almarhum yang saya kenal, mas Anas (sebut saja demikian) namanya. Ia adalah keponakan sang mantan kades. Setelah basa basi sebentar, saya menanyakan ihwal sosok almarhum pamannya. Iapun bercerita panjang lebar tentang figur paman yang kini tengah terbaring kaku.
“Kapan meninggalnya mas?” Tanya saya.
“Kemarin malam, habis shalat Maghrib berjamaah di masjid Paman Aji (sebut saja namanya begitu) pulang, lalu makan bubur dirumah. Baru menyantap dua sendok, tiba-tiba Paman Aji seperti orang tersedak lalu terkulai lemas dikursi makan. Istri dan anaknya yang melihat hal itu langsung mengangkat ke kamar serta memanggilkan dokter. Singkat cerita, dokter akhirnya menyatakan bahwa paman telah wafat”, mas Anas menjelaskan.
“Kalau boleh saya tahu, apa amaliah yang selama ini dikerjakan oleh Paman Aji?”, saya menanyakan.
“Sejak dua tahun terakhir ini, paman rutin menjalankan ibadah shalat berjamaah di masjid, terutama Maghrib, Isya’ dan Subuh. Yang saya tahu itu yang paling menonjol. Yang lainnya saya kira biasa saja, tidak ada yang istimewa”. Jawab Mas Anas.
“Maaf, apa Paman Aji pernah sakit yang parah sebelum ini?” Tanya saya lagi dengan penuh rasa ingin tahu.
“Setahu saya tidak pernah. Hanya sekali, hampir lima tahun yang lalu, beliau pernah dioperasi paru-parunya”. Jawab Mas Anas dengan sabar.
“Bagaimana dengan perilaku beliau pada masa mudanya?” Saya bertanya lagi. Karena semakin banyak saya mendengarkan jawaban Mas Anas rasa ingin tahu saya semakin menjadi.
“Masa mudanya Paman Aji bisa dibilang sangat tidak baik. Setahu saya beliau adalah se-nakal-nakalnya orang pada masa itu di wilayah kampung ini. Namun semenjak paman terpilih menjadi kepala desa, tabiat buruk itu terus berkurang, paman mulai memperbaiki sifat dan perilakunya. Berubah menjadi orang yang baik. Hingga menjelang wafat, ia semakin aktif berjamaah di masjid. Alhamdulillah, Allah memanggilnya dengan cara yang sangat mudah. Mudah-mudahan segala amal kesalahannya diampuni dan amal kebaikannya diterima Allah swt. Doakan ya mas”, mas Anas memohon kepada saya.
Itulah diskusi saya dengan Mas Anas, keponakan Pak Aji yang saat ini telah terbaring menunggu diberangkatkan ke pemakaman. Saya berkeyakinan bahwa sosok almarhum Aji adalah sosok yang baik. Paling tidak ia mampu mengakhiri hidupnya dengan baik. Karena itu, saat wakil keluarga menyampaikan sambutannya melepas jenazah dan menanyakan kepada hadirin,
“Apakah Pak Aji ini termasuk orang yang baik selama hidup didunia?”
Saya pun menjawab dengan mantap, “Baik”.
Nabi menyatakan dalam salah satu haditsnya, bahwa barang siapa yang meninggal dan disaksikan kebaikannya oleh 40 orang, maka ia akan masuk surga. Namun kita seringkali melihat kesalahan dalam praktek dimasyarakat.
Seringkali dalam persaksian terhadap jenazah, para pentakziyah hanya menjawab dengan “baik” padahal mereka tidak tahu tentang figur jenazah selama masa hidupnya atau bagaimana ia menjalani hari-hari akhir menjelang kematiannya. Atau mereka tahu keburukan dari jenazah, namun karena malu, lisannya tetap mengatakan “baik”.
Persaksian yang dimaksud dalam hadits Nabi adalah persaksian yang jujur dalam hati. Persaksian tulus baik diucapkan dengan lisan maupun tidak terucap. Persaksian yang di iringi pengakuan jujur dari hati orang-orang yang mengantarkan jenazah. Bukan persaksian yang hanya keluar dari lisan namun hati tidak mengetahuinya, bahkan hati kadangkala menolak, karena menmgingkari ucapan “baik” lisan.
Karena itu, saat kita bertakziah, hendaknya kita menggali informasi sebanyak mungkin tentang jenazah. Tentang bagaimana ia meninggal juga tentang amaliyahnya tatkala masih hidup hingga menjelang akhir hayatnya. Disamping untuk mengambil hikmah dan ibrah juga agar kita tidak salah dalam memberikan persaksian.
Wallahu a’lam bishshawaab.
sumber : www.attanwir.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar